Senin, 29 April 2013
Yunus yang Ditelan...
Ketika dalam dakwahnya Yunus AS sempat melarikan diri dan akhirnya sempat ditelan oleh (katanya ikan Paus), tetapi akhirnya Ia terbebas dari mulut si Paus, setelah mengikrarkan Ya Allah tiada Tuhan selain Engkau, sesungguhnya aku adalah orang yang zalim.
Bagaimanakah seharusnya kita berdakwah. Apakah metode dakwah yang dilakukan sekarang sudah sesuai dengan prinsip2 ajaran AL Quran dan sunnah Rasulullah? Apakah dakwah saat ini sudah mencapai keberhasilan sebagaimana dakwahnya Rasulullah? Apakah krisis yang melanda negeri ini dapat dikaitkan dengan kualitas dakwah Islam?
Jika seandainya dakwah saat ini dianggap telah sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW maka realitas dakwah mana yang dapat dijadikan tolok ukur? Apakah keberhasilan dakwah dapat diukur kemewahan? Ataukah dapat diukur seberapa tinggi tarif seorang pendakwah? Ataukah keberhasilan suatu partai meraup suara yang banyak? Ataukah diukur dengan seberapa mewah kendaraan yang dikendarai oleh pendakwah dalam menjalankan misinya? Atau seberapa lariskah si pendakwah muncul di media2? Atau dan atau2 lainnya, yang tentu saja masih banyak realita2 yang nampak yang masih menggelitik hati. Jika hal2 di atas tadi dijadikan tolok ukur dakwah Islam saat ini, maka akan menjadi ironi dan paradoks dengan apa yang telah diuswahkan oleh Muhammad SAW. Bagaimana tidak, dalam catatan sejarah Muhammad, dalam dakwahnya, jangankan untuk dijamu atau disambut dengan sambutan yang baik dan meriah, malah dan memang dengan meriah tapi meriah dengan lemparan batu (Thaif), apalagi dibayar dan tentu saja sangat jauh sekali dengan kesan komersialitas. Dalam suatu ayat di sudah Hud, nabi Saleh AS pernah ditanya oleh masyarakat yang sedang didakwahinya; "Hai nabi Saleh, apakah engkau berdakwah karena ingin mengharapkan bayaran dari kami? Nabi Saleh pun menjawab, tidak? Sesungguhnya aku tidak mengharapkan bayaran sepeser pun dari kalian, karena bayaranku hanyalah dari Allah SWT Tuhan semesta alam".
Kalau tidak salah, rumah Muhammad SAW tidak lebih besar dari ukuran 4x4m (mohon maaf yang sebesar-besarnya kalau saya salah), tapi sepertinya hal ini tidak sangat-sangat mengganggu kinerja dakwahnya, malah seluruh dunia sangat menyeganinya dan menaruh hormat yang tidak dibuat-buat dan bukan main-main.
Malah ada suatu kisah yang menurut hemat penulis sangat sarkastik untuk realitas dakwah saat ini. Suatu saat para pembesar berkumpul membahas tentang dakwah Muhammad yang menurut mereka semakin hari semakin mengancam eksistensi para kafir Quraisy. Hingga dicapailah kesepakatan bahwa mereka akan memberikan Muhammad imbalan berupa emas dan benda mewah yang sangat banyak agar Ia mau berhenti berdakwah. Akhir cerita tentu saja kita sudah tahu bahwa Muhammad pasti menolaknya. Kisah ini tentu saja biasa2 saja terutama bagi pengagum Muhammad. Namun yang menarik dan sarkastik dari kisah ini ialah bagaimana ide untuk memberikan imbalan itu bisa muncul. Pertanyaan yang muncul ialah apakah pada saat itu telah ada tipe orang yang mengaku pendakwah namun menerima bayaran? Sehingga tipe pendakwah seperti Muhammad ini dianggap unik, langka bahkan aneh. Kemudian apakah orang Quraisy pada saat itu sudah terbiasa membayar orang yang merasa berdakwah sehingga orang tersebut dianggap sbg bagian dari mereka, sedangkan Muhammad yang tidak pernah dibayar (apalagi minta bayaran) dianggap bukan dari golongan mereka? Jadi di sini kita simpulkan sendiri mau di golongan manakah kita? La Ilaaha illa Anta Subhanaka ini kuntu mina azh-zholimin...
Jumat, 19 Maret 2010
Raden Fatah dan Wong Palembang
picture source: http://korananakindonesia.com
Raden Fatah
Diterbitkan Desember 16, 2008 Sejarah Islam Indonesia , Sejarah Wali Songo 4 Comments
Tags: islam tanah jawa, Sejarah Wali Songo
Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan, tentang silisilah Raja-raja Majapahit. Prabu Adining Kung berputra Hayam Wuruk. Hayam Wuruk berputra Lembu Amisani, patihnya bernama Deming Wular. Lembu Amisani berputra Bra Tanjung. Bra Tanjung berputra Raden Alit, setelah menjadi raja bergelar Brawijaya, patihnya Gajah Mada.
Sang Prabu Brawijaya beristrikan puteri raja dari Campa. Raja Campa ini memiliki dua putri, putri pertama nikah dengan Brawijaya sementara putri bungsunya menikah dengan Makdum Brahim Asmara alias Maulana Malik Ibrahim ayah dari Sunan Ampel (ini berarti Prabu Brawijaya Raja Majapahit adalah ‘Ua dari Sunan Ampel). Alkisah sang Prabu Brawijaya beristri lagi dan memperoleh putri dari Cina. Istri tua dari Cempa sangat kecewa tidak rela di madu dengan putri dari Cina.
Karena besar kasihnya terhadap istri pertama, Prabu Brawijaya sanggup memulangkan putri Cina itu. Sang Raja lalu memanggil Patih Gajah Mada untuk diutus menyerahkan putri Cina itu kepada Arya Damar (Sebelumnya Jaka Dilah yang karena pengabdian dan karyanya bagi Majapahit, Jaka Dilah diangkat kedudukannya menjadi Raja di Palembang dengan gelar Arya Damar). Patih Gajah Mada berangkat membawa putri Cina itu dan bertemu dengan Arya Damar di Gresik, melaksanakan perintah raja serta menyerahkan surat. Bunyi surat, “ Putri Cina dilengserkan jadi istri Arya Damar, tetapi berhubung baru mengandung tidak diizinkan untuk menidurinya, tunggulah sampai melahirkan”. Arya Damar bersedia. Arya Damar segera berangkat, selamat sampai Palembang lalu menjadi Raja.
Alkisah putri Cina yang diserahkan kepada Arya Damar sudah melahirkan seorang anak laki-laki, bernama Raden Hasan yang selanjutnya dijuluki Raden Fatah atau Al-Fatah. Setelah dewasa Arya Damar berharap Raden Fatah menggantikannya menjadi Raja Palembang tetapi Raden Fatah menolaknya. Bersama adiknya (anak Arya Damar) Raden Husen sepakat pergi meninggalkan Palembang ke Jawa untuk mengabdi ke Brawijaya di Majapahit dengan menumpang kapal para saudagar dan berhenti di Sura Pringga. Disitu keduanya turun ke darat berhenti di Ampel Denta. Mereka selanjutnya berguru kepada Sunan Ampel di Pesantren Ampel Denta. Lama menetap di Ampel Denta, Raden Fatah menikah dengan putri Sunan Ampel, Asyikah.
Dalam tulisan sebelumnya, program akselerasi dakwah Sunan Ampel di wilayah Majapahit menempatkan Raden Hasan (Raden Fatah) menjadi koordinator dakwah di wilayah Lasem menggantikan kakeknya Syekh Bah Tong atau Syekh Bentong. Berpusat di Glagah Wangi Bintara dan mendapat gelar Pangeran Bintara. Sementara Raden Husen saudara seibu Raden Hasan (anak Arya Damar) di tempatkan di ibukota Majapahit, oleh Prabu Brawijaya Kertabumi, Raden Hasan diterima sebagai abdi kerajaan dan mendapat gelar Adipati Terung. Daerah Bintara inilah yang selanjutnya menjadi pusat pemerintahan Negara Islam Demak.
Prabu Brawijaya Kertabumi mendengar berita bahwa ada orang yang bertempat tinggal di hutan Bintara, terkenal dimana-mana tentang besaran pedukuhan dan kesaktiannya. Raja memanggil para menteri untuk menanyakan benar-tidaknya kabar itu. Adipati Terung menjawab memang benar bahwa yang tinggal di sana adalah saudara tuanya (Adipati Terung tidak mengungkapkan asal usul mereka berdua). Sang Prabu lalu memberi perintah untuk memanggilnya. Singkat cerita Raden Fatah tiba di kerajaan Majapahit menghadap Prabu Brawijaya, Sang Prabu sangat gembira, jatuh hatinya kepada Raden Fatah sebab rupanya sangat mirip Sang Prabu. Lalu diaku sebagai putera, diangkat menjadi Adipati Bintara. Selanjutnya Raden Fatah kembali ke pedukuhan Bintara yang selanjutnya dikenal pula dengan nama Demak dengan membawa satu laksa abdi (10.000 tentara), serta di beri gajah, kapal, tandu dan pedati. Lama-lama pedukuhan Demak menjadi makin gemah-ripah.
Raden Fatah berhasil merubah Bintara yang asalnya hutan belantara yang tumbuh pohon yang wangi sehingga dikenal dengan pedukuhan Glagah Wangi Bintara menjadi kawasan yang ramai dan terkenal. Letaknya geografisnya yang sangat menguntungkan untuk perdagangan dan pertanian. Dari hutan belantara berubah menjadi gudang padi dan kota pelabuhan yang berdatangan kapal-kapal dagang yang berlayar lewat pantai utara Jawa menuju Maluku. Bintara Demak juga menjadi penghubung antara Jawa Tengah dengan Jawa Timur. Seperti dalam Badab Tanah Jawi sebelum runtuhnya Majapahit, Demak Bintara sudah merupakan Negeri yang gemah ripah.
Dikutip dari: http://yayasanmutiarabiru.co.cc/parameswara-raja-pendiri-kerajaan-malaka.ymb
Sabtu, 13 Februari 2010
Ramayana 2
Secara garis besar konon kisah wayang Ramayana itu menunjukan bahwa manusia itu harus bergelut dengan dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mencapai pencerahan atau mendapatkan wahyu. Disini penggambaran itu di gambarkan sebagai berikut.
Rama digambarkan sebagai satria, sang diri atau pancer.
Shinta digambarkan sebagai wahyu atau pencerahan yang harus dicari atau dicapai.
Rahwana digambarkan sebagai sang nafsu merah yang mencuri perhatian dan waktu satria sehingga menjauhkan manusia dari pencapaian wahyu. Penuh dengan amarah dan nafsu memiliki yang membuat manusia menjauh dari pencapaian.
Sarpakenaka digambarkan sebagai sang nafsu hitam yang digambarkan getol mendukung sang nafsu merah dan merintangi manusia dari pencapaian pencerahan. Penuh dengan nafsu kejahatan dan pelampiasan.
Kumbakarna digambarkan sebagai nafsu kuning yang berusaha untuk menggunakan logika dalam berpikir, dan ahirnya walau mengetahui kebenaran tetap teguh membela apa yang dirasa benar. Tapi kadang kala justru merintangi pencarian karena merasa perlu menjaga apa yang “menurutnya” benar.
Wibisana dan Hanoman digambarkan sebagai nafsu putih yang terkalahkan dan menyingkir menyeberang jalan untuk bersatu dengan diri pribadi memerangi ke 3 nafsu tersebut.
Jalanya cerita juga jelas dimulai dari pencurian shinta oleh rahwana sebagai bentuk dari pencurian kesadaran manusia oleh emosi dan nafsu merah. Dimana sering dalam keadaan kita emosi maka sangat sulit mempertahankan kesadaran. Emosi adalah simbol rahwana yang selalu siap nyolong shinta, kesadaran kita.
Kemudian sadarlah sang diri, yang kemudian atas bantuan hanoman mencari sang shinta yang kemudian bersatu dengan wibisana ketika berjalan ke Alengka. Disini ditunjukan bahwa sang diri harus mendekat dan percaya kepada sifat putih yang ada dalam diri masing masing.
Dan terjadilah perang yang kemudian berujung pada kalahnya Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Rahwana. Kumbakarna kalah dengan tangan dan kaki terpotong, menghadapi nafsu kuning kita harus bisa memotong “angan-angan” yang menjadi lambang kaki tangan Kumbakarna.
Matinya Sarpakenaka karena kerisnya sendiri. Disini bisa diberi arti bahwa seharusnya kita menyadari bahwa semua perbuatan jahat itu merusak. Dengan menyadari akan keburukan diri maka kita akan insyaf. Keinsyafan sebab mau merenung dan menyadari itu dianggap sebagai keris sarpakenaka.
Terahir kita akan berhadapan dengan Rahwana yang punya dasa, sepuluh wajah dan kepala. Lambang begitu banyak alasan yang kita ungkapkan untuk menunjang pembelaan diri kita. dimana di putus satu akan tumbuh lagi lainya. hanya memutuskan semuanya maka sang Rahwana akan gugur. dan Shinta sang wahyu kembali ke pangkuan sang diri.
source:http://bharatayudha.multiply.com/reviews/item/112
Rama digambarkan sebagai satria, sang diri atau pancer.
Shinta digambarkan sebagai wahyu atau pencerahan yang harus dicari atau dicapai.
Rahwana digambarkan sebagai sang nafsu merah yang mencuri perhatian dan waktu satria sehingga menjauhkan manusia dari pencapaian wahyu. Penuh dengan amarah dan nafsu memiliki yang membuat manusia menjauh dari pencapaian.
Sarpakenaka digambarkan sebagai sang nafsu hitam yang digambarkan getol mendukung sang nafsu merah dan merintangi manusia dari pencapaian pencerahan. Penuh dengan nafsu kejahatan dan pelampiasan.
Kumbakarna digambarkan sebagai nafsu kuning yang berusaha untuk menggunakan logika dalam berpikir, dan ahirnya walau mengetahui kebenaran tetap teguh membela apa yang dirasa benar. Tapi kadang kala justru merintangi pencarian karena merasa perlu menjaga apa yang “menurutnya” benar.
Wibisana dan Hanoman digambarkan sebagai nafsu putih yang terkalahkan dan menyingkir menyeberang jalan untuk bersatu dengan diri pribadi memerangi ke 3 nafsu tersebut.
Jalanya cerita juga jelas dimulai dari pencurian shinta oleh rahwana sebagai bentuk dari pencurian kesadaran manusia oleh emosi dan nafsu merah. Dimana sering dalam keadaan kita emosi maka sangat sulit mempertahankan kesadaran. Emosi adalah simbol rahwana yang selalu siap nyolong shinta, kesadaran kita.
Kemudian sadarlah sang diri, yang kemudian atas bantuan hanoman mencari sang shinta yang kemudian bersatu dengan wibisana ketika berjalan ke Alengka. Disini ditunjukan bahwa sang diri harus mendekat dan percaya kepada sifat putih yang ada dalam diri masing masing.
Dan terjadilah perang yang kemudian berujung pada kalahnya Kumbakarna, Sarpakenaka, dan Rahwana. Kumbakarna kalah dengan tangan dan kaki terpotong, menghadapi nafsu kuning kita harus bisa memotong “angan-angan” yang menjadi lambang kaki tangan Kumbakarna.
Matinya Sarpakenaka karena kerisnya sendiri. Disini bisa diberi arti bahwa seharusnya kita menyadari bahwa semua perbuatan jahat itu merusak. Dengan menyadari akan keburukan diri maka kita akan insyaf. Keinsyafan sebab mau merenung dan menyadari itu dianggap sebagai keris sarpakenaka.
Terahir kita akan berhadapan dengan Rahwana yang punya dasa, sepuluh wajah dan kepala. Lambang begitu banyak alasan yang kita ungkapkan untuk menunjang pembelaan diri kita. dimana di putus satu akan tumbuh lagi lainya. hanya memutuskan semuanya maka sang Rahwana akan gugur. dan Shinta sang wahyu kembali ke pangkuan sang diri.
source:http://bharatayudha.multiply.com/reviews/item/112
RAMAYANA
Dikisahkan di sebuah negeri bernama Mantili ada seorang puteri nan cantik jelita bernama Dewi Shinta. Dia seorang puteri raja negeri Mantili yaitu Prabu Janaka. Suatu hari sang Prabu mengadakan sayembara untuk mendapatkan sang Pangeran bagi puteri tercintanya yaitu Shinta, dan akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Putera Mahkota Kerajaan Ayodya, yang bernama Raden Rama Wijaya. Namun dalam kisah ini ada juga seorang raja Alengkadiraja yaitu Prabu Rahwana, yang juga sedang kasmaran, namun bukan kepada Dewi Shinta tetapi dia ingin memperistri Dewi Widowati. Dari penglihatan Rahwana, Shinta dianggap sebagai titisan Dewi Widowati yang selama ini diimpikannya. Dalam sebuah perjalanan Rama dan Shinta dan disertai Lesmana adiknya, sedang melewati hutan belantara yang dinamakan hutan Dandaka, si raksasa Prabu Rahwana mengintai mereka bertiga, khususnya Shinta. Rahwana ingin menculik Shinta untuk dibawa ke istananya dan dijadikan istri, dengan siasatnya Rahwana mengubah seorang hambanya bernama Marica menjadi seekor kijang kencana. Dengan tujuan memancing Rama pergi memburu kijang ‘jadi-jadian' itu, karena Dewi Shinta menginginkannya. Dan memang benar setelah melihat keelokan kijang tersebut, Shinta meminta Rama untuk menangkapnya. Karena permintaan sang istri tercinta maka Rama berusaha mengejar kijang seorang diri sedang Shinta dan Lesmana menunggui.
Dalam waktu sudah cukup lama ditinggal berburu, Shinta mulai mencemaskan Rama, maka meminta Lesmana untuk mencarinya. Sebelum meninggalkan Shinta seorang diri Lesmana tidak lupa membuat perlindungan guna menjaga keselamatan Shinta yaitu dengan membuat lingkaran magis. Dengan lingkaran ini Shinta tidak boleh mengeluarkan sedikitpun anggota badannya agar tetap terjamin keselamatannya, jadi Shinta hanya boleh bergerak-gerak sebatas lingkaran tersebut. Setelah kepergian Lesmana, Rahwana mulai beraksi untuk menculik, namun usahanya gagal karena ada lingkaran magis tersebut. Rahwana mulai cari siasat lagi, caranya ia menyamar yaitu dengan mengubah diri menjadi seorang brahmana tua dan bertujuan mengambil hati Shinta untuk memberi sedekah. Ternyata siasatnya berhasil membuat Shinta mengulurkan tangannya untuk memberi sedekah, secara tidak sadar Shinta telah melanggar ketentuan lingkaran magis yaitu tidak diijinkan mengeluarkan anggota tubuh sedikitpun! Saat itu juga Rahwana tanpa ingin kehilangan kesempatan ia menangkap tangan dan menarik Shinta keluar dari lingkaran. Selanjutnya oleh Rahwana, Shinta dibawa pulang ke istananya di Alengka. Saat dalam perjalanan pulang itu terjadi pertempuran dengan seekor burung Garuda yang bernama Jatayu yang hendak menolong Dewi Shinta. Jatayu dapat mengenali Shinta sebagai puteri dari Janaka yang merupakan teman baiknya, namun dalam pertempuan itu Jatayu dapat dikalahkan Rahwana.
Disaat yang sama Rama terus memburu kijang kencana dan akhirnya Rama berhasil memanahnya, namun kijang itu berubah kembali menjadi raksasa. Dalam wujud sebenarnya Marica mengadakan perlawanan pada Rama sehingga terjadilah pertempuran antar keduanya, dan pada akhirnya Rama berhasil memanah si raksasa. Pada saat yang bersamaan Lesmana berhasil menemukan Rama dan mereka berdua kembali ke tempat semula dimana Shinta ditinggal sendirian, namun sesampainya Shinta tidak ditemukan. Selanjutnya mereka berdua berusaha mencarinya dan bertemu Jatayu yang luka parah, Rama mencurigai Jatayu yang menculik dan dengan penuh emosi ia hendak membunuhnya tapi berhasil dicegah oleh Lesmana. Dari keterangan Jatayu mereka mengetahui bahwa yang menculik Shinta adalah Rahwana! Setelah menceritakan semuanya akhirnya si burung garuda ini meninggal.
Mereka berdua memutuskan untuk melakukan perjalanan ke istana Rahwana dan ditengah jalan mereka bertemu dengan seekor kera putih bernama Hanuman yang sedang mencari para satria guna mengalahkan Subali. Subali adalah kakak dari Sugriwa paman dari Hanuman, Sang kakak merebut kekasih adiknya yaitu Dewi Tara. Singkat cerita Rama bersedia membantu mengalahkan Subali, dan akhirnya usaha itu berhasil dengan kembalinya Dewi Tara menjadi istri Sugriwa. Pada kesempatan itu pula Rama menceritakan perjalanannya akan dilanjutkan bersama Lesmana untuk mencari Dewi Shinta sang istri yang diculik Rahwana di istana Alengka. Karena merasa berutang budi pada Rama maka Sugriwa menawarkan bantuannya dalam menemukan kembali Shinta, yaitu dimulai dengan mengutus Hanuman persi ke istana Alengka mencari tahu Rahwana menyembunyikan Shinta dan mengetahui kekuatan pasukan Rahwana.
Taman Argasoka adalah taman kerajaan Alengka tempat dimana Shinta menghabiskan hari-hari penantiannya dijemput kembali oleh sang suami. Dalam Argasoka Shinta ditemani oleh Trijata kemenakan Rahwana, selain itu juga berusaha membujuk Shinta untuk bersedia menjadi istri Rahwana. Karena sudah beberapa kali Rahwana meminta dan ‘memaksa' Shinta menjadi istrinya tetapi ditolak, sampai-sampai Rahwana habis kesabarannya yaitu ingin membunuh Shinta namun dapat dicegah oleh Trijata. Di dalam kesedihan Shinta di taman Argasoka ia mendengar sebuah lantunan lagu oleh seekor kera putih yaitu Hanuman yang sedang mengintainya. Setelah kehadirannya diketahui Shinta, segera Hanuman menghadap untuk menyampaikan maksud kehadirannya sebagai utusan Rama. Setelah selesai menyampaikan maksudnya Hanuman segera ingin mengetahui kekuatan kerajaan Alengka. Caranya dengan membuat keonaran yaitu merusak keindahan taman, dan akhirnya Hanuman tertangkap oleh Indrajid putera Rahwana dan kemudian dibawa ke Rahwana. Karena marahnya Hanuman akan dibunuh tetapi dicegah oleh Kumbakarna adiknya, karena dianggap menentang, maka Kumbakarna diusir dari kerajaan Alengka. Tapi akhirnya Hanuman tetap dijatuhi hukuman yaitu dengan dibakar hidup-hidup, tetapi bukannya mati tetapi Hanuman membakar kerajaan Alengka dan berhasil meloloskan diri. Sekembalinya dari Alengka, Hanuman menceritakan semua kejadian dan kondisi Alengka kepada Rama. Setelah adanya laporan itu, maka Rama memutuskan untuk berangkat menyerang kerajaan Alengka dan diikuti pula pasukan kera pimpinan Hanuman.
Setibanya di istana Rahwana terjadi peperangan, dimana awalnya pihak Alengka dipimpin oleh Indrajid. Dalam pertempuran ini Indrajid dapat dikalahkan dengan gugurnya Indrajit. Alengka terdesak oleh bala tentara Rama, maka Kumbakarna raksasa yang bijaksana diminta oleh Rahwana menjadi senopati perang. Kumbakarna menyanggupi tetapi bukannya untuk membela kakaknya yang angkara murka, namun demi untuk membela bangsa dan negara Alengkadiraja. Dalam pertempuran ini pula Kumbakarna dapat dikalahkan dan gugur sebagai pahlawan bangsanya. Dengan gugurnya sang adik, akhirnya Rahwana menghadapi sendiri Rama. Pada akhir pertempuran ini Rahwana juga dapat dikalahkan seluruh pasukan pimpinan Rama. Rahmana mati kena panah pusaka Rama dan dihimpit gunung Sumawana yang dibawa Hanuman.
Setelah semua pertempuran yang dasyat itu dengan kekalahan dipihak Alengka maka Rama dengan bebas dapat memasuki istana dan mencari sang istri tercinta. Dengan diantar oleh Hanuman menuju ke taman Argasoka menemui Shinta, akan tetapi Rama menolak karena menganggap Shinta telah ternoda selama Shinta berada di kerajaan Alengka. Maka Rama meminta bukti kesuciannya, yaitu dengan melakukan bakar diri. Karena kebenaran kesucian Shinta dan pertolongan Dewa Api, Shinta selamat dari api. Dengan demikian terbuktilah bahwa Shinta masih suci dan akhirnya Rama menerima kembali Shinta dengan perasaan haru dan bahagia. Dan akhir dari kisah ini mereka kembali ke istananya masing-masing.
From: http://candidiy.tripod.com/ramayana.htm
picture source:http://pavementfreud.sulekha.com
Langganan:
Postingan (Atom)